REVIEW FILM AVENGERS: ANDGAME

REVIEW FILM AVENGERS: ANDGAME

Infinity Wars menghadirkan perang di tanah Titan, planet Thanos. Tony Stark alias Iron Man adalah pencetusnya. Ia bernegoisasi dengan Dr. Strange untuk membawa perang tersebut ke tempat Thanos.
Hasilnya? Avengers kalah. Frustasi, lelah secara fisik dan emosi adalah tumbalnya. Semuanya hanya bisa meratapi apa yang sudah mereka lakukan. Steve Rogers (Captain America), Natasha Romanoff, Thor, Dr. Banner (Hulk), Rhode (War Machine) tak bisa berbuat banyak, selain mempertahankan keras kepala mereka untuk bisa mengalahkan Thanos.
Kepulangan Tony Stark (Iron Man) dan Nebula setelah pertempuran melawan Thanos tak berarti apa-apa. Tony sudah terlalu lelah. Ia hanya bisa berharap untuk hidup lagi di kesempatan kedua
Ada satu jalan yang mereka temukan. Nebula membisikkan sesuatu pada superhero Avengers. Sayangnya, bisikan ini tidak berarti apa-apa, bahkan ketika Thor sudah mengayunkan palu Mjonirnya.
Sayangnya, rasa cinta dan kekeluargaan para superhero Avengers jauh lebih besar dari itu semua. Mereka ingin mengembalikan teman-teman dan keluarga kecil bernama Avengers.
Di mana Scott Lang (Ant-Man)? Bagaimana cara ia keluar dari Quantum Realm? Apakah kedatangan Captain Marvel hanya untuk mencari Nick Fury atau sepenuh hati membantu pasukan Avengers?
Apa yang membuat Hawkeye (Clint Barton) kembali menjadi pembunuh berdarah dingin? Sajian tiga jam terbaik yang mungkin sudah kamu tunggu-tunggu selama ini. Avengers: Endgame adalah film terbaik tentang bagaimana memulai awal dan mengakhiri perpisahan.
Rasa canda, cinta, kekeluargaan dan haru akan kamu temukan di film itu
Menggiring penonton kepada sebuah emosi sepertinya bukanlah ciri khas Marvel. Beberapa film superhero sebelumnya tidak menggambarkan itu sama sekali, dan kemudian, bertarung dan menang. Ya, sesederhana itu film-film Marvel, namun bagus. Penggambaran cerita ini tidak akan kamu temukan di Avengers: Endgame.
Dari awal, emosi penonton sudah dimainkan. Dibiarkan mengalir begitu saja, mencoba untuk menerka apa yang sedang terjadi selanjutnya. Di bagian pertengahan, lagi-lagi emosi penonton dimainkan.
Kuncinya adalah Quantum Realm dan cairan milik Hank Pym yang masih dijaga dengan baik oleh Ant-Man. Ops, tunggu dulu. Ini baru pertengahan., Di bagian akhir, lagi-lagi, Marvel memberikan suguhan emosi yang benar-benar menghajar penonton.
Seperti yang sudah disampaikan oleh pemeran Tony Stark (Iron Man), yaitu Robert Downey Jr. delapan menit terakhir dari Avengers: Endgame adalah bagian terbaik dari keseluruhan film ini.
Cara baru Marvel dalam memaparkan cerita ini yang luar biasa. Mereka tak lagi menggunakan pakem yang sama. Marvel berbalik 360 derajat dan menampilkan gaya baru. Sebuah cara cerdas dalam memainkan emosi penonton
Jalan cerita Endgame yang disusun oleh orang -orang dibalik layar, tak lagi menghadirkan semua itu. Sayangnya, gaya baru Marvel dalam menghadirkan ceritanya ini bagus banget!
Semuanya disusun dengan komposisi yang rapi. Rasa frustasi digambarkan dengan baik. Thor tak banyak bicara, sampai akhirnya ia menggendut. Natasha Romanoff, pembunuh berdarah dingin pun sampai bisa menitikkan air mata.
Tony Stark? Ini lebih gila lagi. Terkatung-katung di luar angkasa selama 22 hari membuat ia benar-benar frustasi. Tony masih saja melempar lelucon-leluconnya yang satir.
Namun, kelopak matanya sudah tertutup rapat. Bahunya sudah letih, sebagai isyarat ia akan berhenti untuk berperang. Tubuhnya kurus ceking. Frustasi, sampai-sampai ia enggan lagi berbicara tentang apa yang sudah dilakukannya.
Gambaran ini tak seperti film Marvel biasanya. Tak ada lagi nada-nada optimis. Marvel ingin mempertontonkan sosok superhero bukan sekadar petantang-petenteng membawa status sosial mereka.
Superhero juga punya sisi paling lemah dalam hidup mereka. Binggung. Tak bisa move on, dan frustasi. Marvel punya cara paling berani untuk menguji kesetiaan penggemar film superhero dengan gaya barunya ini
Bisa dibilang, Marvel ingin menampilkan sisi kelam dari para superheronya. Lebih kelam dari Infinity War. Penonton sudah bisa merasakan ini di awal filmnya.
Tapi, sekali lagi ini jenius!
Kehidupan aslinya yang bermasalah adalah gambaran Tony Stark di film Avengers: Endgame.
Ia memang kaya, punya banyak uang, cerdas, ilmuwan dan apa saja syarat pria paling sempurna ada di dunia. Namun, Tony Stark hanyalah manusia biasa.
Ia gagap ketika Thanos memasuki pikiran-pikirannya di dalam mimpi pra serangan di New York yang bisa kamu temukan di film The Avengers.
Tony Stark bukanlah pemimpin Avengers. Ia hanya penggerak dan tangan kanan dari Captain America. Bukan juga pemimpin S.H.I.E.L.D. Ia hanya bagian kecil dari apa yang pernah dikerjakan oleh Ayahnya, Howard Stark pada masa perang.
Namun, Tony Stark adalah seorang yang punya hati. Ia rela melakukan apa saja dibalik rasa frustasinya. Seorang pemimpin sejati yang punya satu kesempatan membunuh Thanos dalam skala 1: 14.000.000 seperti yang dilakukan Dr. Strange.
Tony Stark yang diperankan oleh Robert Downey Jr. adalah awal dimana para superhero Avengers berkumpul. Ia pula yang memberikan satu kalimat penutup.
Terima kasih Robert Downey Jr, Tony Stark, Iron Man.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metode Terapi Langit, Garisdua dengan Do'a Bag 1

Mereview Bab 5 "Kendala Menghimpun Berita"

Membedah Unsur-Unsur Film